KODE ETIK PERIKLANAN
INDONESIA
Etika
di dalam sebuah iklan saat ini cukup dilupakan oleh sebagian masyarakat dan
juga pelaku iklan. Padahal, di dalam dunia periklanan Indonesia terdapat badan
yang mengatur terkait etika tersebut, yaitu Lembaga Etika Pariwara Indonesia
(EPI). Salah satu bentuk pelanggaran dari sebuah iklan yang marak terjadi yaitu
dalam bentuk promosi, baik dari diskon yang diberikan maupun harga jual yang
berbeda antara yang dicantumkan di media-media promosi dengan harga jual
aslinya. Hal tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk menarik minat pembeli
agar tertarik untuk membeli, tanpa di sadari oleh masyarakat bahwa hal tersebut
telah melanggar Kode Etik EPI.
Ciri-ciri iklan yang
baik :
1. Etis: berkaitan dengan kepantasan.
2. Estetis: berkaitan dengan kelayakan
(target market, target audiennya, dan kapan harus ditayangkan). Text Box: 3
3. Artistik: bernilai seni sehingga
mengundang daya tarik khalayak.
B. Etika Periklanan
Etika adalah Ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(KBBI).
Disepakati Organisasi
Periklanan dan Media Massa (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)),
2005. Berikut ini kutipan beberapa etika periklanan yang terdapat dalam kitab
EPI (Etika Pariwara Indonesia). KODE ETIK PERIKLANAN INDONESIA. Kode etik ini
kemudian disebut " Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia.
a) Tata Krama Isi Iklan
1. Hak Cipta: Penggunaan materi yang bukan
milik sendiri, harus atas ijin tertulis dari pemilik atau pemegang merek yang
sah.
2. Bahasa: (a) Iklan harus disajikan dalam
bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan
persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang
dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut. (b) Tidak boleh menggunakan
kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata
berawalan “ter“. (c) Penggunaan kata ”100%”, ”murni”, ”asli” untuk menyatakan
sesuatu kandungan harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari
otoritas terkait atau sumber yang otentik. (d) Penggunaan kata ”halal” dalam
iklan hanya dapat dilakukan oleh produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat
resmi dari Majelis Ulama Indonesia, atau lembaga yang berwenang.
3. Tanda Asteris (*): (a) Tanda asteris
tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau
membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari
produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk. (b)
Tanda asteris hanya boleh digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau
sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut.
4. Penggunaan Kata ”Satu-satunya”: Iklan
tidak boleh menggunakan kata-kata “satusatunya” atau yang bermakna sama, tanpa
secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya
dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
5. Pemakaian Kata “Gratis”: Kata “gratis”
atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila
ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan
kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas.
6. Pencantum Harga: Jika harga sesuatu
produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan jelas,
sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut.
7. Garansi: Jika suatu iklan mencantumkan
garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus
dapat dipertanggung- jawabkan.
8. Janji Pengembalian Uang (warranty): (a)
Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan
lengkap, antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka
waktu berlakunya pengembalian uang. (b) Pengiklan wajib mengembalikan uang
konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.
9. Rasa Takut dan Takhayul: Iklan tidak
boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan
kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
10. Kekerasan: Iklan tidak boleh – langsung
maupun tidak langsung -menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau
memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan.
11. Keselamatan: Iklan tidak boleh menampilkan
adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan, utamanya jika ia tidak berkaitan
dengan produk yang diiklankan.
12. Perlindungan Hak-hak Pribadi: Iklan tidak
boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang bersifat
massal, atau sekadar sebagai latar, sepanjang penampilan tersebut tidak
merugikan yang bersangkutan.
13. Hiperbolisasi: Boleh dilakukan sepanjang ia
semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor yang secara sangat
jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak menimbulkan salah
persepsi dari khalayak yang disasarnya.
14. Waktu Tenggang (elapse time): Iklan yang
menampilkan adegan hasil atau efek dari penggunaan produk dalam jangka waktu
tertentu, harus jelas mengungkapkan memadainya rentang waktu tersebut.
15. Penampilan Pangan: Iklan tidak boleh
menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan yang tidak pantas lain
terhadap makanan atau minuman.
16. Penampilan Uang: (a) Penampilan dan perlakuan
terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan norma-norma kepatutan, dalam
pengertian tidak mengesankan pemujaan ataupun pelecehan yang berlebihan. (b)
Iklan tidak boleh menampilkan uang sedemikian rupa sehingga merangsang orang
untuk memperolehnya dengan cara-cara yang tidak sah. (c) Iklan pada media cetak
tidak boleh menampilkan uang dalam format frontal dan skala 1:1, berwarna
ataupun hitam-putih. (d) Penampilan uang pada media visual harus disertai
dengan tanda “specimen” yang dapat terlihat Jelas.
17. Kesaksian Konsumen (testimony): (a) Pemberian
kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama perorangan, bukan mewakili lembaga,
kelompok, golongan, atau masyarakat luas. (b) Kesaksian konsumen harus
merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa maksud untuk
melebih-lebihkannya. (c) Kesaksian konsumen harus dapat dibuktikan dengan
pernyataan tertulis yang ditanda tangani oleh konsumen tersebut. (d) Identitas
dan alamat pemberi kesaksian jika diminta oleh lembaga penegak etika, harus
dapat diberikan secara lengkap. Pemberi kesaksian pun harus dapat dihubungi
pada hari dan jam kantor biasa.
18. Anjuran (endorsement): (a) Pernyataan, klaim
atau janji yang diberikan harus terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh
penganjur. (b) Pemberian anjuran hanya dapat dilakukan oleh individu, tidak
diperbolehkan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.
19. Perbandingan: (a) Perbandingan langsung dapat
dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria
yang tepat sama. (b) Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka
metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas.
Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau
verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut. (c) Perbandingan tak
langsung harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan khalayak.
20. Perbandingan Harga: Hanya dapat dilakukan
terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus diserta dengan
penjelasan atau penalaran yang memadai.
21. Merendahkan: Iklan tidak boleh merendahkan
produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.
22. Peniruan: (a)
Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian
rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau
membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau
alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian
eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul,
slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik,
ikon atau atribut khas lain, dan properti. (b) Iklan tidak boleh meniru ikon
atau atribut khas yang telah lebih dulu digunakan oleh sesuatu iklan produk
pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun terakhir.
23. Istilah Ilmiah dan Statistik: Iklan tidak
boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistik untuk menyesatkan
khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan.
24. Ketiadaan Produk: Iklan hanya boleh
dimediakan jika telah ada kepastian tentang tersedianya produk yang diiklankan
tersebut.
25. Ketaktersediaan Hadiah: Iklan tidak boleh
menyatakan “selama persediaan masih ada” atau kata-kata lain yang bermakna
sama.
26. Pornografi dan Pornoaksi: Iklan tidak boleh
mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan
atau alasan apa pun.
27. Khalayak Anak-anak: (a) Iklan yang ditujukan
kepada khalayak anakanak tidak boleh menampilkan hal-hal yang dapat mengganggu
atau merusak jasmani dan rohani mereka, memanfaatkan kemudahpercayaan,
kekurangpengalaman, atau kepolosan mereka. (b) Film iklan yang ditujukan
kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran khalayak anakanak dan menampilkan
adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang tidak pantas, dan atau dialog
yang sulit wajib mencantumkan kata-kata “Bimbingan Orangtua” atau simbol yang
bermakna sama.
Diatas merupakan
gambar dari kemasan yang berisi komposisi buavita mangga dimana diambil sampel
rasa mangga, Badan Pengawas Periklanan berkesimpulan bahwa iklan Buavita
mempunyai potensi melanggar EPI, dengan menampilkan klaim “100% Apple Juice”
(dan versi-versi lainnya yang sejenis/senada). Dalam hal ini Badan Pengawas
Periklanan mengirimkan surat kepada biro iklan yang membuat iklan tersebut.
Kenyataanya sangat
relative dan tentu ada campuran airnya. Tidak mungkin juga didalam kemasan
seperti buavita tidak ada campuran lainnya, karena kalo tidak pasti minuman
tersebut akan lebih cepat basi atau tidak layak minum.
Tetapi apa yang
dilakukan buavita tidak benar, karena menggunakan kata 100% yang melanggar aturan
bahasa dalam etika periklanan. Tidak jujur dalam mengiklankan produknya.
Seharusnya perusahaan
lebih mengutamakan etika periklanan yang ada, agar iklan tidak melanggar norma
dan jujur adanya. Dengan seperti itu pasti konsumen akan merasa lebih puas, karena
iklan yang ditayangkan sama dengan produk yang dirasakan. Konsumen pun akan
menjadi lebih percaya akan produk yang ditawarkan tersebut. Perusahaan juga
seharusnya perlu banyak memahami lebih lanjut tentang etika periklanan, agar
tidak terjadi pelanggaran
Snack “BIKINI”
Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) menyebut ada empat pelanggaran dalam peredaran produk
makanan ringan `Bikini` alias Bihun kekinian. Alhasil produsen produk yang tak
lain adalah seorang mahasiswi, terancam akumulasi hukuman pidana hingga denda
administrasi. Salah satunya melanggar UU 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi.
diketahui pembuat
makanan instan tersebut adalah mahasiswi berinisial DP. Dari keterangannya,
produk tersebut awalnya untuk tugas kuliah. Tetapi, sayangnya karena kemasannya
yang menggunakan karikatur badan berbikini dianggap tidak sesuai etika timur
yang selama ini berlaku di Indonesia. Ditambah lagi, dengan tagline bertuliskan
"remas aku" di kemasan membuat makanan ringan tersebut melanggar
etika kesopanan.
Produk mi itu dilabeli
nama "Bikini" sebagai akronim dari "Bihun Kekinian."
Slogannya "Remas Aku." Pada kemasannya tampak ilustrasi perempuan
mengenakan bikini dua helai sedang meremas Mi Bikini.

0 komentar:
Posting Komentar
Mari komen dengan bijak, supaya bisa saling membantu untuk memberikan informasi-informasi bermanfaat