Selasa, 31 Maret 2020

KODE ETIK PERIKLANAN INDONESIA


KODE ETIK PERIKLANAN INDONESIA

Etika di dalam sebuah iklan saat ini cukup dilupakan oleh sebagian masyarakat dan juga pelaku iklan. Padahal, di dalam dunia periklanan Indonesia terdapat badan yang mengatur terkait etika tersebut, yaitu Lembaga Etika Pariwara Indonesia (EPI). Salah satu bentuk pelanggaran dari sebuah iklan yang marak terjadi yaitu dalam bentuk promosi, baik dari diskon yang diberikan maupun harga jual yang berbeda antara yang dicantumkan di media-media promosi dengan harga jual aslinya. Hal tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk menarik minat pembeli agar tertarik untuk membeli, tanpa di sadari oleh masyarakat bahwa hal tersebut telah melanggar Kode Etik EPI.

Ciri-ciri iklan yang baik :
1.      Etis: berkaitan dengan kepantasan.
2.      Estetis: berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, dan kapan harus ditayangkan). Text Box: 3
3.      Artistik: bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.

B.     Etika Periklanan
Etika adalah Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (KBBI).

Disepakati Organisasi Periklanan dan Media Massa (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)), 2005. Berikut ini kutipan beberapa etika periklanan yang terdapat dalam kitab EPI (Etika Pariwara Indonesia). KODE ETIK PERIKLANAN INDONESIA. Kode etik ini kemudian disebut " Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia.
a)      Tata Krama Isi Iklan
1.      Hak Cipta: Penggunaan materi yang bukan milik sendiri, harus atas ijin tertulis dari pemilik atau pemegang merek yang sah.
2.      Bahasa: (a) Iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut. (b) Tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“. (c) Penggunaan kata ”100%”, ”murni”, ”asli” untuk menyatakan sesuatu kandungan harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik. (d) Penggunaan kata ”halal” dalam iklan hanya dapat dilakukan oleh produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia, atau lembaga yang berwenang.
3.      Tanda Asteris (*): (a) Tanda asteris tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk. (b) Tanda asteris hanya boleh digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut.
4.      Penggunaan Kata ”Satu-satunya”: Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “satusatunya” atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
5.      Pemakaian Kata “Gratis”: Kata “gratis” atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas.
6.      Pencantum Harga: Jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut.
7.      Garansi: Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggung- jawabkan.
8.      Janji Pengembalian Uang (warranty): (a) Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang. (b) Pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.
9.      Rasa Takut dan Takhayul: Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
10.  Kekerasan: Iklan tidak boleh – langsung maupun tidak langsung -menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan.
11.  Keselamatan: Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan, utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan.
12.  Perlindungan Hak-hak Pribadi: Iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang bersifat massal, atau sekadar sebagai latar, sepanjang penampilan tersebut tidak merugikan yang bersangkutan.
13.  Hiperbolisasi: Boleh dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya.
14.  Waktu Tenggang (elapse time): Iklan yang menampilkan adegan hasil atau efek dari penggunaan produk dalam jangka waktu tertentu, harus jelas mengungkapkan memadainya rentang waktu tersebut.
15.  Penampilan Pangan: Iklan tidak boleh menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan yang tidak pantas lain terhadap makanan atau minuman.
16.  Penampilan Uang: (a) Penampilan dan perlakuan terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan norma-norma kepatutan, dalam pengertian tidak mengesankan pemujaan ataupun pelecehan yang berlebihan. (b) Iklan tidak boleh menampilkan uang sedemikian rupa sehingga merangsang orang untuk memperolehnya dengan cara-cara yang tidak sah. (c) Iklan pada media cetak tidak boleh menampilkan uang dalam format frontal dan skala 1:1, berwarna ataupun hitam-putih. (d) Penampilan uang pada media visual harus disertai dengan tanda “specimen” yang dapat terlihat Jelas.
17.  Kesaksian Konsumen (testimony): (a) Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama perorangan, bukan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas. (b) Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benar-benar dialami, tanpa maksud untuk melebih-lebihkannya. (c) Kesaksian konsumen harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditanda tangani oleh konsumen tersebut. (d) Identitas dan alamat pemberi kesaksian jika diminta oleh lembaga penegak etika, harus dapat diberikan secara lengkap. Pemberi kesaksian pun harus dapat dihubungi pada hari dan jam kantor biasa.
18.  Anjuran (endorsement): (a) Pernyataan, klaim atau janji yang diberikan harus terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh penganjur. (b) Pemberian anjuran hanya dapat dilakukan oleh individu, tidak diperbolehkan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.
19.  Perbandingan: (a) Perbandingan langsung dapat dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria yang tepat sama. (b) Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi penyelenggara riset tersebut. (c) Perbandingan tak langsung harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan khalayak.
20.  Perbandingan Harga: Hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus diserta dengan penjelasan atau penalaran yang memadai.
21.  Merendahkan: Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.
22.  Peniruan: (a)  Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain, dan properti. (b) Iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun terakhir.
23.  Istilah Ilmiah dan Statistik: Iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistik untuk menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan.
24.  Ketiadaan Produk: Iklan hanya boleh dimediakan jika telah ada kepastian tentang tersedianya produk yang diiklankan tersebut.
25.  Ketaktersediaan Hadiah: Iklan tidak boleh menyatakan “selama persediaan masih ada” atau kata-kata lain yang bermakna sama.
26.  Pornografi dan Pornoaksi: Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan atau alasan apa pun.
27.  Khalayak Anak-anak: (a) Iklan yang ditujukan kepada khalayak anakanak tidak boleh menampilkan hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak jasmani dan rohani mereka, memanfaatkan kemudahpercayaan, kekurangpengalaman, atau kepolosan mereka. (b) Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran khalayak anakanak dan menampilkan adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang tidak pantas, dan atau dialog yang sulit wajib mencantumkan kata-kata “Bimbingan Orangtua” atau simbol yang bermakna sama.


Diatas merupakan gambar dari kemasan yang berisi komposisi buavita mangga dimana diambil sampel rasa mangga, Badan Pengawas Periklanan berkesimpulan bahwa iklan Buavita mempunyai potensi melanggar EPI, dengan menampilkan klaim “100% Apple Juice” (dan versi-versi lainnya yang sejenis/senada). Dalam hal ini Badan Pengawas Periklanan mengirimkan surat kepada biro iklan yang membuat iklan tersebut.

Kenyataanya sangat relative dan tentu ada campuran airnya. Tidak mungkin juga didalam kemasan seperti buavita tidak ada campuran lainnya, karena kalo tidak pasti minuman tersebut akan lebih cepat basi atau tidak layak minum.

Tetapi apa yang dilakukan buavita tidak benar, karena menggunakan kata 100% yang melanggar aturan bahasa dalam etika periklanan. Tidak jujur dalam mengiklankan produknya.

Seharusnya perusahaan lebih mengutamakan etika periklanan yang ada, agar iklan tidak melanggar norma dan jujur adanya. Dengan seperti itu pasti konsumen akan merasa lebih puas, karena iklan yang ditayangkan sama dengan produk yang dirasakan. Konsumen pun akan menjadi lebih percaya akan produk yang ditawarkan tersebut. Perusahaan juga seharusnya perlu banyak memahami lebih lanjut tentang etika periklanan, agar tidak terjadi pelanggaran


Snack “BIKINI”
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebut ada empat pelanggaran dalam peredaran produk makanan ringan `Bikini` alias Bihun kekinian. Alhasil produsen produk yang tak lain adalah seorang mahasiswi, terancam akumulasi hukuman pidana hingga denda administrasi.  Salah satunya  melanggar UU 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

diketahui pembuat makanan instan tersebut adalah mahasiswi berinisial DP. Dari keterangannya, produk tersebut awalnya untuk tugas kuliah. Tetapi, sayangnya karena kemasannya yang menggunakan karikatur badan berbikini dianggap tidak sesuai etika timur yang selama ini berlaku di Indonesia. Ditambah lagi, dengan tagline bertuliskan "remas aku" di kemasan membuat makanan ringan tersebut melanggar etika kesopanan.
Produk mi itu dilabeli nama "Bikini" sebagai akronim dari "Bihun Kekinian." Slogannya "Remas Aku." Pada kemasannya tampak ilustrasi perempuan mengenakan bikini dua helai sedang meremas Mi Bikini.

0 komentar:

Posting Komentar

Mari komen dengan bijak, supaya bisa saling membantu untuk memberikan informasi-informasi bermanfaat

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

9983 City name, Street name, 232 Apartment C

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 5pm

Phone:

595 12 34 567

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.