Kesetaraan Gender, Diskriminasi Wanita, dan
Budaya Patriaki
Budaya Patriaki
Manusia sebagai seorang individu dan mahluk sosial yang juga adalah bagian dari masyarakat, memiliki identitas atau konsep dirinya sendiri. Setiap individu memeliki konsep diri dan presepsi, yang mana presepsi akan mempengaruhi konsep diri pada manusia. Situasi sosial dan lingkungan menjadi peran penting terbentuknya identitas diri seorang individu. Bagaimana orang lain menilai kita, melihat kita, dan menggambarkan bagaiamana kita, hal itulah yang dinamakan sebagai identitas diri kita yaitu, dimana identitas kita diakaui oleh orang lain. Berbicara tentang identitas sangat menarik untuk mengupas tentang masalah wanita dan gender serta kesetaraannya yang begitu unik dan rumit. Banyak hal-hal kompleks yang terjadi di sekitar kita dan mungkin terasa lumrah padahal itu bukanlah sebagai hal yang seharusnya.
Membahas tentang gender ada istilah lain yg terkadang disamaartikan yaitu istilah “seks”, kedua hal tersebut sering disamaartikan dan dinggap sebagai hal yang sama yang sebenarnya keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Seks adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang melekat dan tidak bisa dipertukarkan yaitu, laki-laki memiliki penis, scrotum, dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, dan memproduksi sel telur. Alat-alat biologis tersebut tidak dapat dipertukarkan yang merupakan kodrat atau ketentuan dari Tuhan Yang Esa (nature). Sedangkan gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, kita akan memahami bahwa laki-laki akan dijarkan sebagai mahluk yang tangguh, kuat, perkasa, tegas, tidak boleh cengeng dan sebagainya yang mana kita telah pahami, sedangkan wanita adalah mahluk yang lemah lembut, penyayang dan sangat sensitif. Namun, bukan berati laki-laki tidak boleh memiliki rasa kasih dan sayang lalu wanita tidak boleh bersikap tegas, karena sifat ini bisa dipertukarkan. Oleh karena itu kita perlu juga memahami tetang kesetaraan gender, dimana semua manusia baik laki laki ataupun perempuan harus mendapatkan hak yang sama.
Jika membahas tentang kesetaraan gender pasti selalu terlintas satu kata di fikiran kita yaitu “perempuan”, di era secanggih ini, semua kemajuan teknologi telah dipermudah aksesnya dan semakin menggila dalam inovasi terbarunya untuk memudahkan hidup manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Adanya media sebagai hiburan dan kreasi juga berperan dalam penentuan presepsi dan identitas terhadap individu. Kita dapat membaca dan menoton berbagai hal dari fitur-fitur yang ada di internet. Apa yang dibuat dan disuguhkan atau dipublikasikan ke media pasti memiliki maksud atau tujuan tersendiri yang dapat berupa maksud positif atau bahkan maksud negatif yang dapat mempengaruhi penonton, pendengar, dan pembacanya. Disadari atau tidak pola pikir kita terhadap perempuan terkadang telah dipengaruhi oleh media yang kita amati dengan anugerah otak dan pikiran sebagai akal manusia dari Tuhan Yang Maha Esa.
Telah kita ketahui bersama melalui informasi yang ada di media tentang bagaiamana di era se-rasional ini masih banyak wanita yang menjadi korban diskriminasi. Bagaimana wanita dilecehkan oleh laki-laki, wanita disakiti batin dan fisiknya tapi, justru wanita yang disalahkan dan wanita juga yang selqlu di sorot oleh media sehingga opini publik semakin kuat untuk mengatakan bahwa wanitanya yang salah dan hal ini dianggap wajar. Diskriminasi perempuan membuat kita teringat akan budaya patriarki pada jaman dahulu yang menganggap perempuan tidak lebih bisa dibandingkan dengan laki-laki. Ternyata tanpa kita sadari budaya patriaki masih sangat kental anggapannya di masyarakat sosial khususnya di Indonesia. Budaya patriaki menempatkan poisisi dan kedudukan kaum laki-laki lebih tinggi daripada kaum perempuan. Menganggap bahwa laki-laki harus selalu lebih tinngi dibanding perempuan dalam segi prioritas. Akan malu jika suami bergaji lebih rendah dari istri, akan malu bila laki-laki menangis, akan jatuh harga dirinya bila laki-laki mengikuti keinginan wanitanya dan sebaginya.
Budaya patriarki sampai saat ini menjadi tantangan terbesar untuk mewujudkan adanya kesetaraan gender di Indonesia. Belum lagi media kita yang selalu menjual keindahan tubuh para perempuan. Dimana banyak iklan yang menjadikan perempuan cantik, seksi, berpakaian ketatt atau bikini sebagai role model produk, sebagai thumbnail video, sampul judul film ataupun majalah, menjadikan adegan seksi wanita trailer film agar memikat banyak penonton natinya. Padahal kita bisa lebih menyoroti laki-laki yang tangguh, atau wanita pekerja keras, atau yang selalu optimis dan lainnya. Hal itu sangat mempengaruhi audiens pola pikir audiens tentang perempuan oleh karena itu budaya patriarki di lingkungan sosial bahkan di media menjadi tantangan yang rumit untuk mewujudkan kesetaraan gender, kondisi tersebut menambah beban perempuan untuk bisa maju dan berkontribusi lebih optimal. Pendidikan karakter berkelanjutan diperlukan agar anak-anak, khususnya anak perempuan, memiliki kepercayaan diri yang kuat dan bersemangat agar mereka bisa berkembang optimal dan tumbuh jadi perempuan tangguh dan perempuan yang berkontribusi terhadap perekonomian dan membawa dunia ke arah yang lebih baik lagi. Hal itu harus di mulai dari tingkat keluarga, desa, dan seterusnya. Desa harus secara nyata juga mengajak perempuan dan anak-anak muda untuk ikut ambil keputusan untuk membentuk karakter berkelanjutan karena selama ini, masih didominasi kaum laki-laki.
Mari kita buka sedikit realita dalam masyarakat, dimana orang akan lebih mempermasalahkan wanita yang tidak lagi perawan dibandigkan keperjakaan pria. Saat wanita hamil diluar nikah akan selalu digunjing oleh para tetangga, dicap buruk, menjadi bahan gosip hingga berbulan-bulan, disalahkan “Ah perempuannya saja yang mau”, “Ah dasar wanita itu tidak bisa menjaga kehormatannya”, “Bagaimana bisa ia hamil dengan yang bukan suaminya?”, “Ah kacau, remaja perempuan masa kini”, perempuan, perempuan, perempuan lagi, dan perempuan terus. Sedangkan yang harus diingat adalah untuk membuat seorang perempuan hamil itu dibutuhkan laki-laki untuk membuahi sel telur. Pun keduanya melakukan suka sama suka, keduanya menikmati bersama, bersalah bersama, tapi pada kenyataannya pasti akan perempuan yang menerima sanksi sosial paling berat. Sudah menanggug malu, mengandung bayi, dimarahi sanak saudara, menanggung dosa, dan masih digunjing sebelah mata. Padahal belum tentu hal itu terjadi karena kemauan perempuan begitu saja, bisa jadi ada unsur paksaan, bujuk rayu, atau ancaman di dalamnya. Pada kenyataanny baik laki-laki maupun perempuan sama-sama salah tetapi konstruksi sosial dimasyarakat yang terbentuk adalah struktur sosial yang patriarki, yang akan selalu menyalahkan kaum perempuan di bawah kaum laki-laki.
Bahkan tercatat 259.150 kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2016. Disusul kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus. Betapa hal itu akan meningkat setiap tahunnya, diskriminasi pada pihak perempuan akan selalu terjadi jika patriarki terus dijadikan sebagai budaya.
Masih sangat banyak diskriminasi terhadap perempuan dan bentuk kejahatan kriminalitas maupun non kriminalitas. Belum lagi, adanya hukum di negara ini yang masih kurang memprioritaskan ke arah sana, sebagai salah satu contohnya lagi adalah Pasal 4 UU Perkawinan menyatakan seorang suami diperbolehkan ber istri lebih dari seorang apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat melahirkan keturunan. Lalu bagaimana jika keadaannya di balik ? Pihak suamilah yang tidak dapat memberikan keturunan, tidak ada satupun pasal yang membahas hal itu.
Untuk saat ini memang penting membangun paradigma baru tentang wanita di mata masyarakat. Lebih memperhatikan hak-hak wanita dan penerapan kesetaraan gender yang tidak melihat wanita sebelah mata. Emansipasi wanita sudah dikoar-koarkan sejak lama, tapi realiasinya masih rendah dan jauh dari apa yang diharapkan. Semoga pemahaman dan penerapan tentang kesetaraan gender bisa segera direalisasikan dan budaya patriarki yg selama ini ternyata masih tetap tumbuh segera dihilangkan demi terwujudnya kesetaraan gender di Indonesia.


0 komentar:
Posting Komentar
Mari komen dengan bijak, supaya bisa saling membantu untuk memberikan informasi-informasi bermanfaat